Lunturnya Budaya Kritis Mahasiswa  

Posted by SAMmy in

“ Di sela-sela kuliah terjadilah perdebatan politik. Sedangkan di halaman-halaman, di lorong-lorong kampus penuh dengan potret-potret jagoan mereka seperti Lenin, Mao, Castro, dan Guevara.
Bermula dari perdebatan politik, akhirnya tercapai kata mufakat untuk melakukan aksi-aksi kongkret. Putusan sejarah jatuh pada Daniel Cohn Bendit sebagai pemimpin. Ia seorang mahasiswa Sorbonne, jurusan sosiologi, usia 23 tahun. Ia warga Negara Jerman, lahir dan dibesarkan di Perancis.”
Kutipan di atas, diambil dari buku berjudul “Pergolakan Mahasiswa Abad ke-20, Kisah Perjuangan Anak-Anak Muda Pemberang” oleh Yozar Anwar.
Kegiatan-kegiatan diskusi di kampus-kampus seperti di ataslah yang merupakan benih-benih lahirnya “Gerakan 22 Maret 1968” yang mencetuskan “Krisis Mei di Perancis”. Gerakan 22 Maret ini menuntut salah satunya pada saat itu adalah menginginkan mereka diizinkan ruang kuliah sebagai tempat diskusi politik dan melawan kehadiran polisi di kampus karena menurut peraturan Perancis, orang-orang yang berpakaian seragam tidak diperkenankan masuk ke halaman universitas.



Sebenarnya dari uraian di atas, saya juga merindukan adanya diskusi-diskusi di halaman-halaman, sudut-sudut kampus, ruang lobi dan ruang-ruang lainnya yang mengkritisi realita di sekeliling kita dan kita hadapi dari yang terdekat dahulu sampai ruang lingkup yang lebih luas. Karena dengan adanya ruang-ruang dan bentuk diskusi di ataslah akan tercipta dialektika dan secercah perubahan serta melalui ini juga kita dapat mengaplikasikan ilmu yang kita dapat di kelas masing-masing. Kerinduan ini berangkat dari kondisi-kondisi di kampus kita yang minim sekali adanya ruang-ruang diskusi kritis, walaupun berdasarkan yang saya lihat diskusi yang benar-benar kritis ada “di bawah permukaan tanah” itupun satu dan dua atau jarang tapi lebih baik dari pada tidak ada serta kadangkala beberapa diskusi jauh sekali dari realita terdekat yang kita hadapi, misalnya pengkritisan kenaikan harga sembako yang berdampak pada naiknya harga nasi goreng juga, rokok juga, sewa kosan juga, listrik juga, pe amer dkk miras lain juga kompak naik. Semua juga memberatkan ortu kita toh….. tapi sory dan fakta loh ada yang ga naik malah makin turun yaitu “harga diri hampir seluruh bangsa ini…”
Ini terjadi karena kecendrungan pada saat ini, hampir di seluruh mahasiswa tidak memiliki budaya kritis, yang seharusnya dimiliki oleh mahasiswa dan sesuai dengan Tri Dharma Mahasiswa yaitu: “ Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian terhadap rakyat”
Lunturnya budaya kritis ini juga dapat dilihat di kelas-kelas kuliah betapa sedikitnya mahasiswa bertanya, kalau ada sepenaya orangnya dia-dia juga. Beberapa faktor penyebab lunturnya budaya kritis ini adalah berasal dari media telivisi melalui sinetron-sinetron yang cenderung bersifat tidak mendidik, mengarahkan pada sikap konsumerisme, cinta diri dan terutama mengarahkan pada sikap/pola pikir pengabaian pada realita-realita sekitar kita, pada tujuan akhirnya menjajah pola pikir kita dan dekritisasi, missal: cerita sinetron tidak jauh dari cinta segitiga, orang-orang kaya dan cantik/ganteng yang jarang sekali sinetron menceritakan persoalan-persoalan yang dihadapi orang-orang miskin/tak beruntung yang berjuang hanya berfokus pada bertahan hidup/ mencari makan, tentunya aktor/aktrisnya tidak seganteng/cantik bahkan jauh sekali dari aktor/aktris sinetron kebanyakan.
Dekritisasi bukan hanya terjadi di media telivisi dalam salah satunya melalui sinetron-sinetron tetapi juga di beberapa sekolah dan perguruan tinggi, di mana selama ini kita cenderung kuat diajarkan untuk menghafal teks-teks buku . Oleh karena itu saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Ira Shor dan Paulo Freire di dalam buku berjudul “ Menjadi Guru Merdeka, Petikan Pengalaman”

“Umumnya siswa hanya diminta menghafalkan jawaban siap pakai. Pengetahuan sering disajikan kepada siswa bagai seonggok atau bahkan seperti mayat-informasi, bukan seperti sosok kehidupan yang bergayutan dengan kenyataan. Dan setelah melewatkan ratusan bahkan ribuan jam dan tahun yang mubazir, pembelajar tak ubahnya hanya mengajarkan paduan suara dengan lagu dan silabus resmi” dan “ Sebagai akibatnya, kita telah mereduksi makna mengetahui menjadi sekadar “Memindahkan” pengetahuan yang sudah ada”

Sekali lagi saya sepakat dengan Paulo Freire dan Ira Shor, menurut mereka membangkitkan budaya kritis dapat dimulai dari “ Sikap mensosok. Mensosok adalah keinginan untuk mengetahui, damba mencari jawab atas suatu tanya, yaitu: metode kritis untuk belajar. Mungkin mensosok adalah komunikasi yang mengajak mitranya agar turut serta, atau melibatkan pihak lain agar ikut serta dalam pencarian yang aktif” hal. 6 dan “ Melalui dialog kritis terhadap suatu naskah atau suatu momen di masyarakat, sebenarnya kita tengah mencoba menelaah, mengupas dasar pemikiran, bahkan konteks histories dan sosial dari bahan kajian” hal. 21
Jadi, hayu atuh kita ciptakan budaya kritis/pola-pola pikir kritis melalui metode-metode pendidikan kritis bersifat dialogis, dari kelas sampai terciptanya ruang-ruang diskusi kritis yang juga merupakan salah satu ruang dialektika dari pemikiran-pemikiran kritis dan sampai pemikiran kritis menyatakan solusi-solusi dari persoalan-persoalan kamu, saya, kita, dan lainya sampai Indonesia berubah benar-benar merdeka, tercapainya keseluruhan masyarakat berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.

This entry was posted on Minggu, 01 Juni 2008 at 14.31 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar